google

Sabtu, 17 April 2010

Tugas NonAkademis 3

Pendidikan di indonesia. “Banyaknya penggangguran di indonesia bertitle S1 seolah mengindikasikan bahwa ada kesalahan yang tidak mampu di identifikasi dalam sistem pendidikan”
Pendidikan di indonesia selalu menjadi persoalan yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Mulai dari mahalnya biaya pendidikan hingga kualitas pendidikan yang masih dipertanyakan. Data kuantitatif masyarakat yang mengenyam pendidikan tidak berbanding lurus dengan kualitas SDM di indonesia. Artinya, jika dikaitkan dengan kesjahteraan penduduk (tingkat kemiskinan dan penggangguran), peranan pendidikan belum mampu memberikan perubahan positif yang signifikan. Bahkan gelar sarjana pun tidak menjamin bahwa individu tersebut mampu dan siap menjawab tantangan globalisasi termasuk persaingan di dunia kerja.
Sejauh ini, kebijakan-kebijakan yang ada seperti sekolah gratis, pelatihan tenaga pengajar hingga kontroversial penerapan ujian nasional dan kurikulum yang diterapkan menjadi jawaban yang menguap begitu saja. Belum sepenuhnya mampu mengangkat dan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dalam tatanan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan masih bersifat formalitas belaka, belum menyentuh ke arah peningkatan kualitas SDM di indonesia.
Beberapa pertanyaan yang layak untuk dikaji lebih mendalam untuk memaksimalkan pendidikan di di indonesia antara lain:
1.apakah kurikulum yang ada telah sesuai dengan perkembangan saat ini?
2.Apakah jumlah tenaga pengajar sudah sesuai dengan dengan jumlah kebutuhan?
3.Seberapa sering tenaga pengajar mendapatkan tambahan pelatihan?
4.Apakah dana yang dianggarkan untuk pendidikan mampu memberikan fasilitas-fasilitas pendidikan?misalnya gedung yang layak, komputer dsb.
5.Kebijakan apa saja yang sudah diterapkan oleh pemerintah di dunia pendidikan? Apakah efektif? Standart apa yang dipakai dalam mengevaluasi kebijakan pendidikan?
6.Apa sasaran utama pendidikan baik jangka pendek maupun jangka panjang?
7.Apakah pendidikan telah menyentuh seluruh lapisan masyarakat di indonesia?
8.Apakah masyarakat memiliki kesadaran mengenai pentingnya investasi pada pendidikan? Perlukah sosialisasi?
Menurut saya manifestasi penyakit-penyakit dalam dunia pendidikan dapat diidentifikasi dengan 8 pertanyaan diatas. Meskipun masih banyak faktor-faktor lain diluar batas pemikiran saya seperti penggelapan dana pendidikan hingga pola pikir pelaku pendidikan jika dilihat dari skala sosiologi.



Gambaran Umum Pendidikan di Indonesia
Menyoal pendidikan, didalamnya tidak terlepas dari kisaran tanggung jawab pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM di indonesia. Termasuk juga peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan. Kesadaran masyarakat bahwa pendidikan bukan sekedar formalitas belaka namun mengerti dan memahami dengan benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat didalamnya, mengingat adanya pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat untuk investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan. Mungkin masih dapat diterima jika mengacu pada masyarakat yang kurang mampu, namun persoalan menjadi lain jika kita membicarakan masyarakat menengah keatas. Apakah perlu sosialisasi untuk investasi pendidikan dengan benar?
Banyak sudah kita dengarkan saran dan kritik untuk mengatasi persoalan pada sistem pendidikan kita. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, topik-topik tersebut mengalami ketidakpastian dalam pengaplikasiannya. Tampaknya kita berputar-putar dalam lingkaran dan maju7 secara perlahan jika kata “kemandekan” atau “kegagalan” terlalu vulgar untuk diutarakan. Pemerintah dan organisasi pendidikan di indonesia terlalu sibuk dengan sistem informasi manageman, analisis finansial, angka kelulusan dan data-data kuantitatif lainnya sehingga terpisah jauh dari jantung pendidikan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir ini. Devaluasi standart kualitas pendidikan tidak hanya melanda organisasi pendidikan saja, tetapi telah merusak sistem pendidikan kita.
Bukti nyata dari gejala-gejala ketidakefektifan pendidikan di indonesia adalah banyaknya penggangguran di indonesia termasuk “produk-produk gagal” bertitle S1 meskipun hal ini tidak terlepas dari dampak krisis ekonomi dunia tapi setidaknya indikasi bahwa produk pendidikan kita belum siap berhadapan dengan kerasnya globalisasi dan persaingan didunia luar. Data statistik yang banyak dilansir media-media yang beredar memang menyebutkan bahwa tingkat penggangguran di indonesia telah mengalami penurunan, dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi indonesia yang semakin membaik. Tapi realita di lapangan masih menyisakan keprihatinan tersendiri. Bagaimana tidak, masih banyak pekerjaan yang tidak layak disebut pekerjaan seperti pemecah batu, penambang pasir hingga pekerja seks yang mengkomersilkan diri (mungkin hal semacam ini dimasukan oleh organisasi-organisasi yang melakukan survey sehingga data statistik pertumbuhan ekonomi kita mengalami peningkatan) meskipun variabel-variabel tersebut tidak dapat dipakai sebagai patokan utama penilaian keberhasilan atau kegagalan pendidikan di indonesia. Setidaknya saya selalu berpendapat bahwa kemiskinan itu identik dengan kebodohan. Dan jika masyarakat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, saya dengan mudah menyimpulkan bahwa pendidikan kita mengalami kegagalan. Yang jelas kualitas pendidikan kita akan selalu menjadi tanda tanya besar di masa yang akan datang.


Tindakan Perbaikan yang Mungkin
Tindakan perbaikan akan efektif jika masyarakat dan pemerintah mengerti sepenuhnya potensi kegawatan keadaan yang berkembang saat ini. Setiap tindakan harus dilakukan secara hati-hati mengingat adanya faktor-faktor penyebab kegagalan yang tidak terlihat pada sistem pendidikan kita. Dilihat dari kacamata manageman tindakan yang mungkin antara lain:
Penanaman Jiwa Kewiraswastaan
pekerjaan itu bisa diciptakan. Inilah yang sering terabaikan pada pendidikan di indonesia. Penekanan pada jiwa kewiraswastaan harus lebih dikembangkan. Kreativitas dan inovasi mutlak diperlukan. Sudah terlalu banyak produk pendidikan yang telah kehilangan (bahkan mungkin tidak pernah memiliki) keberanian untuk mengambil keputusan dan menanggung resiko didalamnya.
Kebijakan pemerintah melalui program penyediaan modal menjadi bias manakala masyarakat terlalu takut untuk mengambil resiko kewiraswastaan. Ketakutan ini menurut saya lebih dikarenakan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimilike setiap orang termasuk didalamnya produk-produk pendidikan kita. Adanya fasilitas pendukung untuk pengaplikasian materi mutlak diperlukan. Selain itu adanya pelatihan, seminar dan konferensi dengan biaya terjangkau harus lebih digalakan. Lebih specifik lagi berikan proyek-proyek khusus jika dana memungkinkan.
Lebih dari itu, semangat kewiraswastaan hanya mampu tumbuh ketika lingkungan yang mendukung mampu diciptakan. Seperti adanya organisasi yang terlibat secara langsung dengan masyarakat, pendanaan yang memadai, dan sumber-sumber informasi yang mudah diakses (termasuk internet dan perpustakaan).
Resiko kegagalan:

penciptaan jiwa kewiraswastaan bukan tanpa resiko. Semangat kewiraswastaan dapat hilang begitu saja dan meninggalkan individu yang frustasi berat daripada individu yang tidak pernah memiliki semangat kewiraswastaan ketika mengalami kegagalan. Ditinjau lebih mendalam, jiwa kewiraswastaan yang salah orientasi akan menciptakan masyatakat kapitalisme, individualistik, dan cenderung berbuat apa saja untuk mencapai keberhasilan.( penggelapan pajak, penciptaan produk berbahaya, distributor produk-produk ilegal dan lain-lain).
Meskipun tidak pernah saya temui adanya kajian mengenai hal ini, tetapi bagi saya secara pribadi tujuan pendidikan adalah peningkatan kualitas individu dan penanaman konsep prinsip-prinsip moral yang diterima masyarakat.

Terapkan Standart Tinggi
Sejak masuk taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, kita seharusnya menerapkan Standart tinggi. Tidak adanya kebanggaan kualitas pekerjaan dalam proses pendidikan semakin lama semakin kita terima sebagai hal yang biasa. Parahnya lagi hal ini telah menjadi kebudayaan kerja di lingkungan pendidikan kita dan diterapkan oleh setiap pelaku didalamnya.
Jika mengacu pada tujuan pendidikan yakni peningkatan kualitas SDM maka sasaran utama dalam setiap proses pendidikan haruslah konsisten yaitu performance yang tinggi. Kita harus memberikan tekanan lebih untuk menumbuhkan kegairahan dan minat belajar yang mulai padam. Sehingga mencapai hasil yang istimewa. Dengan demikian produk pendidikan kita benar-benar teruji ketika harus menghadapi kerasnya globalisasi mengingat pengalaman menaklukan tantangan dalam proses belajar mengajar.

Resiko kegagalan:

Penerapan Standart tinggi dapat memacu individu untuk terus berkembang dan memaksimalkan setiap potensi yang ada. Namun disisi lain, kemungkinan terbesar adalah ketidaksiapan mental untuk menghadapi kegagalan mencapai standart tersebut (masih menjadi pro dan kontra penerapan ujian nasional).



referensi:

Maier, N.R.F, Psichology in industrial organizations 1973
Argyris,Crhis. Integrating the individual and the organizations (newyork, john wiley and sons, 1964)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar